The Alchemist is a story about a kid name Santiago and he is from Spain. He had this one exact dream twice, told him to go to the pyramid in Egypt to find his treasure. In the middle of his journey to find the treasure, he met the alchemist. And the alchemist and also the people he meet during his journey taught him a lot of things he need, to help him find the treasure. Even I don’t completely understand about the whole story (There are some words I never heard before like “Jiwa Buana”? I mean, what is it???), there are great quotations along with the story. And I’m going to quote it for you (Oh, and since I am not a great translator, I’m going to quote it just the way it is.hehe):
“Bila seseorang bertemu dengan orang yang sama setiap hari, seperti yang terjadi padanya di seminari, mereka berubah menjadi bagian dari kehidupan orang tadi. Kemudian mereka ingin oran itu berubah. Jika seseorang tidak seperti yang dikehendaki, yang lainnya marah. Setiap orang rupa-rupanya punya ide yang jelas tentang bagaimana orang lain seharusnya menjalani hidup mereka, tapi tak satu pun mengenai kehidupannya sendiri.”
“Peramal itu adalah ahli membaca ranting; dia melemparkan ranting-ranting ke tanah, dan menafsirnya berdasar cara jatuhnya. “Aku ini hidup dari meramal masa depan orang,” katanya. “ Aku tahu ilmu ranting, dan aku tahu bagaimana menggunakannya untuk menembus tempat dimana semua sudah tertulis. Di sana, aku dapat membaca masa lalu, mengungkap apa yang telah dilupakan, dan memahami pertanda-pertanda yang ada disini saat ini. Ketika orang-orang meminta nasihatku, aku bukannya membaca masa depan; aku menebak masa depan. Masa depan itu milik Tuhan, dan hanya Dia yang dapat mengungkapkannya, dalam kondisi yang luar biasa. Bagaimana caraku menebak masa depan? Berdasarkan pertanda-pertanda masa kini, Rahasiannya terletak di masa kini, Kalau kamu memperhatikan masa kini, kamu dapat memperbaikinya. Dan bila kamu memperbaiki masa kini, apa yang akan datang kemudian juga akan menjadi lebih baik. Lupakanlah amsa depan, dan jalanilah setiap hari menururt ajaran, percayalah bahwa Tuhan mencintai hamba-hambaNya. Tiap-tiap hari, pada dirinya, membawakan suatu keabadian.” ”
“Benda-benda apa ini?” tanya warga suku itu,
“Itu Batu Filsuf dan Obat Hidup. Itu adalah Karya Agung para alkemis. Siapa saja yang menelan obat itu tak akan pernah sakit lagi, dan sepotng pecahan dari batu itu bias mengubah segala macam logam menjadi emas.”
Orang-orang Arab itu menertawai dia, dan sang alkemis pun ikut tertawa. Mereka menganggap jawaban itu lucu.
“Apa engkau sudah gila? Buat apa berbuat begitu?” tanya si bocah pada sang alkemis
“Untuk menunjukkan padamu satu pelajaran sederhana dalam hidup,” jawab sang alkemis. “ Bila kau memiliki harta yang sangat bernilai di dalam dirimu, dan mencoba untuk memberitahu orang lain tentang hal itu, jarang ada yang percaya.”
And this is the best part; this is not a quotation, it is the prolog:
Alkemis itu mengambil buku yang dibawa seseorang dalam karavan. Membukabuka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.
Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutu di dekat sebuha dananu untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona oleh dirinya hingg, suatu pagi, ia jatuh ke dalam danau itu dan tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga yang dinamakan Narcissus.
Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.
Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar telah berubah menjadi danau air mata yang asin.
“Mengapa engkau menangis?” tanya dewi-dewi itu,.
“Aku menangisi Narcissus,” jawab danau.
“Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus,” kata mereka, “sebab walalu kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dar dekat.”
“Tapi…indahkah Narcissus?” tanya danau.
“Siapa yang lebih mengetahuinya dari engkau?” dewi-dewi bertanya heran. “ Didekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!:
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya ia berkata:
“Aku menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bias melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri.”
“Kisah yang sungguh memikat,” piker sang alkemis.